Notasi Daun


aku rerontokan daun yang tak mungkin kembali
menyusun orkestrasi bersama angin senjahari

aku telah sampai di sini. di tanah basah
tempat segala sunyi, diam bersemedi

desah angin menghembuskan hening
hening batu melumutkan rindu

”ricik kesepian mata air belum usai kubaca
lalu dengan apa kita harus menulisi langit?”

bila musim mengamsalkan hujan
beri aku waktu mengeja sesal pepohonan

sebab aku begitu suntuk
ingin mengisahkan matahari
pada tidurmu. meski kita
dipisah ranting-ranting


2006

Berita Cuaca


matahari dibalut awan
gelapnya merayapi taman dan aspal jalan
hingga sajak ini dituliskan
belum dapat dipastikan
sampai kapan kecemasan memucatkan
wajah orang-orang


2006

Doa


di mulut kuucap doa
di hati kurapal doa
sajakku memantra doa
tangisku tumpahan doa
tubuhku seonggok doa
dalam doa aku meniada


2006

Membacamu

kubaca dirimu lewat butiran air hujan
kecipak ikan di kolam, kemrisik daunan
batubatu hitam, dan puisi cinta yang ditulis ulang

tapi, kantuk membeban di mataku sepasang
menjadikan rindumu gagal kuterjemahkan


2006

Engkaukah Itu

engkaukah itu malammalam mengetuk pintu
seperti ingin memasuki masa lampau
yang terusir dari kenangku

engkaukah itu diamdiam masuk di kediaman diamku
menyulap kenang jadi rindu


2006

Seperti Puisi, Atau Cuma Selusin Kata

Teluh angin menerbangkanku hingga sampai di taman para dewa. Kulihat Oka menimang anaknya di bulan, sambil mengajarkan mantra untuk membujuk Shiwa. Adnyana yang kucari, lagi-lagi ingkar janji. Ia pergi entah kemana, bahkan ia lupa meletakkan canang di altar pura. Mulut Bima terus meracau, membaitkan puisi, meski Arnawa belum datang sesore ini. Sawitri kembali menari. Bunga kamboja di sela telinga, beras putih di dahi, membuat ia secantik peri. Di atas kanvas Redika piawai merangkumnya.


2006

Di Pinggir Telaga (I)

”Hujan selalu turun tak terduga sayang,
sia-sia kau kutuki kuyupnya.”

Lalu kau sodorkan seplastik kue jelly warnawarni,
secangkir kopi, dan secarik mimpi

Kita duduk di sini, memandangi kanak-kanak berlompatan
Menyusun tiang-tiang ayunan dan melukiskan panorama senja

Aku bertanya ”Bagaimana cara melepas cincin perakmu di jariku
sedang pertemuan ini telah menjadi taman bagi sepasang kekasih
yang membutuhkan perlambangan daun-daun bambu?”

Kau menjawab ”Bukankah kita tak pernah tahu sungai mana
yang tak mengalirkan cinta dan airmata, dan puisi mana yang
menjawab keherananmu pada manusia?”

Lalu kau memintaku tak terdiam saja

”Ah, hari sudah malam, kita pulang
untuk mencatat kemustahilan baru yang luruh bersama air hujan.”


(2006)

Di Pinggir Telaga (II)

kita menekuri telaga sepanjang siang
entah berapa semak membuat kita melompat

”daun-daun bambu tak mengabarkan datangnya
langit baru di taman ini,” bisikmu

benar, burung-burung camar masih berkepak
melintasi langit yang sama sepanjang siang

(2006)

Di Kotamu

hai, aku datang di kotamu
sihir waktu tak mengubah kampung itu
sudut-sudut gang, tumpukan batu-batu
juga rindu yang pernah kaupesankan untukku

tapi akulah pengembara tersesat
tanpa peta, mencarimu di lengang malam dan sejuta alamat
hingga seorang rahib mengabarkan engkau telah menjelma lautan

disini,
di pantai kesunyian, tempat kita menatap rembulan bulat
wangi sekarmayang rambutmu masih tercium lekat
riak ombak setia berkecipak, menghanyutkan cahaya
dan memantulkan wajah-wajah leluhurmu
ya, semua masih seperti dulu

maka sebelum gelap merampas senja,
biarkan kutulis sajak
kutitipkan kepada angin untukmu
juga pedih dari seribu badik
yang menancap kekal
tepat di jantungku
di jantungku ...


(losari petanghari, nopember 2006)

Negeri Sekarat

di negeri sekarat
waktu memadat
matahari pucat
tubuhku menguap
menjelma asap

aku lindap terhisap
hidung nini datu
dan para pendusta

; sirna



(banjarmasin, pagi terakhir, nopember 2006)

Nunca Mas




“The most important role player is the victim.”
-Nelson Mandela-

Dari ladang-ladang pembantaian, lihatlah tubuh kami menghitam
Bau anyir darah membuncah dari dedusun lusuh dan temaram

Waktu terpejam, menciut di depan altar pejagalan
Jerit kami menghumus, desah kami desah hantu hutan

Lalu siapa berbaris berderap-derap di bawah bulan seiris
Menghunus bayonet dan memotong jemari kanak dengan bengis?

Malam yang sekarat, maut merentangkan sayap
Aroma kematian bertugur disepasang tiang pancang

Tubuh kami terbanting, hati kami tercincang-cincang
Tuhan yang kami tunggu tak kunjung datang

Luka terlanjur menganga dari gairah genosida
Sejarah yang terukir di kulit pohon Ara, menyisakan airmata di pipi Maria

Kini,
Meski pedih perih kekal tak terperi
Engkau tak lagi menyumpal mulut-mulut kami

Malaikat yang mengirim kalian ke ujung sunyi
Telah memberikan sayapnya dan menyanyikan lagu surgawi

Bagai burung terbang bersarang
Kami ruh yang telah menemukan jalan pulang


Jakarta, 10 Desember 2006 pas hari HAM se-dunia.


(*) Nunca Mas = Never Again, adalah sebuah laporan setebal 50.000 halaman yang memuat daftar 8.960 orang hilang, dibuat oleh The Argentine National Commission on The Disappeared (CONADEP) selama pemerintah junta militer di Argentina dari 1976-1983. Nunca Mas menyeret sembilan anggota junta militer Argentina atas kejahatan kemanusiaan, salah satunya Jenderal Jorge Videla yang diganjar hukuman seumur hidup.