Sajak Luka

Aku terluka parah
jantungku keluar darah
mataku perih memerah
hatiku merindu entah
langkahku gontai tak tentu arah

Datanglah, segera datanglah
sebelum sunyi mekar merekah
sebelum malam menjelma resah
sebelum tubuhku berkalang tanah

Datanglah, wahai datanglah
hanya padaMu aku berserah



Tangerang, 6 Juli 2009

Sendiri

Engkau berbisik, seperti gerimis senja
senantiasa mengusik menjejalkan makna

Mendadak engkau menyapa
bercerita dan membuatku terpana

Seperti ada yang membilur kelu
dan mengoyak syaraf-syaraf jenuhku

Tak pernah aku mengerti
dengan apa harus kulengkapkan larik-larik puisi

Sebab, aku telah menjelma Siti Hawa
yang berduka didera sepi
sejak Tuhan mengajarkan arti kata : sendiri


2009

Sajak Mata

untuk Al :


perlahan kelopak matamu terbuka
mekar menjadi kupu-kupu
hinggap di kuncup hatiku

(2008)

Mauvaise Foi

Inilah kenyataannya
Sihir malam membawaku di kota tak bernama
Bunyi hujan menjelma pesta, menarikan daunan
bagai tarian lelawa
Lalu kilatan petir memecut getir
menggemuruh mengekalkan diam

Engkau datang seperti kata-kata menemukan sajaknya
Membawa gigil menggetar di bibir. Menangkup dipan
menyimpan sepi, bergegas memburu mimpi

Bangsal ini penuh kebisuan, juga hening yang memilukan
Sedang di rambutmu masih saja ada percikan rindu
Dari musim yang mengganas, berdentam, menggemuruhkan duka
Mari kukenakan selimutmu
Agar kehangatan itu mendamaikan dan mengistirahkan lelahmu

Esok, bila matahari menjemputku
Kenangkanlah sunyi itu
Kukenangkan pula cintaku
Yang tertahan di senyap bangsal gedung tua
Di kota tak bernama



Jakarta, 12 September 2008

Sketsa

I

di taman para dewa
kutemu pelangi
tentu indah sekali


andai kau di sini
sebagai selendang peri
akan kukalungkan sejuntai
di lehermu

II

ada yang menari di langit
mungkin bidadari

ada yang menuliskan syair di hatiku
adakah dirimu?

III

mata siapa simpan rahasia
menggulir sepinggir daun

sebagai ketulusan embun
memendarkan cahaya
memendarkan apasaja

lalu meniada

(kuta, 2007)

Ninabobok

tidurlah, tidur sayang
rebahkan letihmu di lembut pembaringan

bila matamu memejam, mimpikanlah bulan
tempat seribu bidadari membangun kastil
dari impian

tidurlah tidur
lepaskan penat dan gelisahmu sepanjang siang
harihari panjang melelahkan
malam akan mendekapmu dan membisikkan
lagulagu tentang rindu dan harapan

tapi dalam gelap dan hujan keparat
dua malaikat mematahkan sayapku
sedang malaikat yang lain mengantarku
pada intisari nyeri

”engkau lelaki, tercipta dari sunyi
di pusat gelap kesana engkau pergi!”


tidurlah tidur
lelapkan letih dan penatmu seharian
esok langit akan bertukar musim
darahlukaku yang menganaksungai
segera kuhimpun, kujadikan kata-kata


bila hari telah pagi
yang abadi bukanlah mimpi
yang kekal bukan pula airmata

selamat tidur sayang
perjumpaan kita yang ganjil akan tetap kukenang


2007


Kuta

Di Kuta, senja terlanjur sirna
Pasangan-pasangan bercinta
Dari kota-kota dunia
Saling berdusta
Dalam tujuh bahasa
Di antara gemulung ombak
Saling menjebak
Saling menebak
Siapa bakal bangun lebih pagi
Meninggalkan kusut bantal

Lalu kuceritakan tentang amuk
Yang membuatmu mabuk
Ya, mereka lebih keparat
Dari sebotol arak tua

Gemuruh tetabuhan
Di banjar-banjar
Wangi kamboja
Bau asap dupa
Riuh kegaduhan
Dari bar-bar murahan
Tak kunjung membuatku melupa
Kusut kisah hidup

Dan kini
Sebelum pagi
Ketika kau masih
Tergeletak tanpa mimpi
Di lembab pembaringan
Aku telah meluncur
Pergi menuju Sanur
Mencari matahari
Mencairkan sepi

Bali, 9 Des 2007

Ruang Preview

di sini masalalu melepas waktu
tetapi perjalanan sejarah
tidak cukup sebagai hitam putih
film yang terputar di ruang beku

14 Mei 2007
(menjelang deadline)

26/4/2007

kita berdiri pada senja yang sama
senja yang kemarin membawa kita
pada gelap dan sunyi yang sama
pada malam yang sama
yang mencumbumu, mencumbuku
dengan gigil yang sama

2007

Sajak Hari Ini

tak ada suara biola
hanya tangis kecil tertahan di ujung dipan
sebelum kaurayakan kematianku kesekian

25 April 2007
(happy birthday Kin)

KEPADA REPORTER

Puisi ini ditemukan di saku Egon Scotland, seorang reporter harian berbasis di Munich, Suddeutsche Zeitung, setelah ia diserang dan dibunuh oleh kelompok pemberontak Serbia pada awal konflik di Kroasia tahun 1991.

Ambil sebanyak mungkin catatan dan tembakan
semampumu,
Temanku.
Tapi, jangan laporkan pada dunia
bahwa hanya semata angka yang dibunuh
Di padang emas Slavonia
ketika tak terhitung nama yang diberikan
atau masa depan yang direnggut.

Laporkan kepada dunia bahwa
Itu adalah Johan dan William
dan Victor dan Francesco
yang dibunuh

Di jantung Slavonia
dan bahwa Gabriel dan Gyorgy
dan namamu, juga
akan dibunuh besok

Ambil sebanyak mungkin catatan dan tembakan
semampumu,
Temanku,
Tapi jangan laporkan pada dunia
bahwa hanya semata angka yang dibunuh
di lapangan berdarah Slavonia


Anonim
(diterjemahkan Lensi Mursida, diambil dari buku Panduan Bertahan Hidup Bagi Jurnalis AJI-IFJ)

Bila Cintamu Mekar Mawar Itu




Bila cintamu mekar mawar itu, akan kuambil pena
kutuliskan sajak tersyahdu untukmu

Bila cintamu mekar mawar itu, akan kupasang kanvas
kulukiskan wangi dan merahnya bagi segenap ketulusanmu

Bila cintamu mekar mawar itu, akan kuajak bulan matahari
awan dan bintang-bintang untuk memujamu

Bila cintamu mekar mawar itu, akan kupetik
dan kuhimpun di sudut hatiku, tangkai demi tangkai



14 feb 2007
(kado untuk istriku)

Berbincang dengan Kawan




kita berjabat tangan
eratnya perjumpaan
tubuhmu dibalut kain gombal
sebagian berlubang, apek dan kumal
semula berbincang tentang cuaca
lalu anak gadis yang diperkosa
permana yang ditendang petugas keamanan
hingga terjengkang dari kereta
irvan joki yang mati dengan luka lebam
di sekujur badan
si tegal dengan limabelas jahitan di kepala
bekas siksaan pamong praja
yuli dan mala yang dipaksa jadi dewasa
selanjutnya,……
terlalu pedih untuk jadi bait-bait puisi



2007

: untuk anak-anak jalanan di Ibukota

Kabar Setelah Engkau Pulang
(Tentang Badai)



sesaat setelah engkau pulang
malam mengerang
meradang geram
mengigilkan dendam

memandang jakarta
bertirai tapi lunglai
memikul badai
dari musim tak lazim

langit sakral
meniupkan angin sakal
lalu gaduh petir
segaduh jiwa getir

malam kian mengerang
hatiku membadaikan pilu
sesaat setelah engkau pulang



2007

Survival On Sequence 01

Di bukit yang selalu disaput kabut
kopi terakhir terseruput beraroma maut

Bersama seorang pemuntah mesiu
kami belajar menyimpan nyawa
membebat luka, melepas diri
dari panas acid dan alkali

Impian kami terserak di barak
dengan 1.0 miligram nikotin
dan satu ampul xylocain dalam darah
kami susun skenario dari literatur
perang yang paling sia-sia
yang disemburkan televisi dan koran pagi

Bukan, bukan
ini bukan tentang pemberontakan
Ini tentang perjumpaan suci
bagi para petaruh nyawa dan harga diri




Puncak, 2007

Pancoran di Januari yang Hujan


Demikianlah,
Jam-jam jahanam selalu membuat muka menghitam
Seratus purnama tak kunjung tergenapkan
Meski tetap kau raih, kau tunggu dengan tubuhmu telanjang

Antrean panjang kendaraan mengalun bagai lagu lama
Pelan dan menyimpan kenangan

Tetapi, kisah cintamu terlalu pendek untuk sebuah kota
Yang selalu menyelipkan ketabahan angin, nafas kehidupan
Dari jantung rahasia yang tersimpan di lembar-lembar sajak

Di sudut-sudut jalan yang selalu digenangi kecemasan
Kukenang matamu, kukenang pula tangis yang dihujankan langit
Luruh bersama bayangmu yang sungsang dan kian menghilang


2007

Gambir


Keretamu ada di dadaku
bergetar menderu bersikejar dengan waktu

Simpan saja selamat tinggal itu di saku baju
Tak perlu lama engkau menunggu
Lekas muatkan lukaduka atau apa saja yang kau mau

Sebelum lengking peluit memberangkatkan tubuhku
lenyap menuju senyap, menghilang ditelan sajak-sajak
rindu yang bermuara di matamu



2007

Kenari


Burungku burung kenari
Bernyanyi nyaring memerihkan hati

Kemana hendak terbang sesiang ini
Awan yang digadang tak akan datang

Kesabaran angin mengibaskan masa lalu
Yang melekat sebagai debu di bulu-bulu

Burungku burung kenari
Bernyanyi nyaring memendungkan hati
Membiarkan dukaku melengking tinggi


2007

Menteng

Malam enggan berlalu
Tak ada yang lebih membosankan dari lama menunggu

Trotoar bertebar aroma daging bakar
Setiap detik harap kami bergema apakabar

Tapi menanti sapa darimu
Membuat lidah kami kelu

Sebelum persimpangan ini
menebarkan hawa kelam
Perkenankan kami tinggalkan dirimu
Bersama santap malam
yang tak lagi nikmat ditelanhabiskan



2007

Notasi Daun


aku rerontokan daun yang tak mungkin kembali
menyusun orkestrasi bersama angin senjahari

aku telah sampai di sini. di tanah basah
tempat segala sunyi, diam bersemedi

desah angin menghembuskan hening
hening batu melumutkan rindu

”ricik kesepian mata air belum usai kubaca
lalu dengan apa kita harus menulisi langit?”

bila musim mengamsalkan hujan
beri aku waktu mengeja sesal pepohonan

sebab aku begitu suntuk
ingin mengisahkan matahari
pada tidurmu. meski kita
dipisah ranting-ranting


2006

Berita Cuaca


matahari dibalut awan
gelapnya merayapi taman dan aspal jalan
hingga sajak ini dituliskan
belum dapat dipastikan
sampai kapan kecemasan memucatkan
wajah orang-orang


2006

Doa


di mulut kuucap doa
di hati kurapal doa
sajakku memantra doa
tangisku tumpahan doa
tubuhku seonggok doa
dalam doa aku meniada


2006

Membacamu

kubaca dirimu lewat butiran air hujan
kecipak ikan di kolam, kemrisik daunan
batubatu hitam, dan puisi cinta yang ditulis ulang

tapi, kantuk membeban di mataku sepasang
menjadikan rindumu gagal kuterjemahkan


2006

Engkaukah Itu

engkaukah itu malammalam mengetuk pintu
seperti ingin memasuki masa lampau
yang terusir dari kenangku

engkaukah itu diamdiam masuk di kediaman diamku
menyulap kenang jadi rindu


2006

Seperti Puisi, Atau Cuma Selusin Kata

Teluh angin menerbangkanku hingga sampai di taman para dewa. Kulihat Oka menimang anaknya di bulan, sambil mengajarkan mantra untuk membujuk Shiwa. Adnyana yang kucari, lagi-lagi ingkar janji. Ia pergi entah kemana, bahkan ia lupa meletakkan canang di altar pura. Mulut Bima terus meracau, membaitkan puisi, meski Arnawa belum datang sesore ini. Sawitri kembali menari. Bunga kamboja di sela telinga, beras putih di dahi, membuat ia secantik peri. Di atas kanvas Redika piawai merangkumnya.


2006

Di Pinggir Telaga (I)

”Hujan selalu turun tak terduga sayang,
sia-sia kau kutuki kuyupnya.”

Lalu kau sodorkan seplastik kue jelly warnawarni,
secangkir kopi, dan secarik mimpi

Kita duduk di sini, memandangi kanak-kanak berlompatan
Menyusun tiang-tiang ayunan dan melukiskan panorama senja

Aku bertanya ”Bagaimana cara melepas cincin perakmu di jariku
sedang pertemuan ini telah menjadi taman bagi sepasang kekasih
yang membutuhkan perlambangan daun-daun bambu?”

Kau menjawab ”Bukankah kita tak pernah tahu sungai mana
yang tak mengalirkan cinta dan airmata, dan puisi mana yang
menjawab keherananmu pada manusia?”

Lalu kau memintaku tak terdiam saja

”Ah, hari sudah malam, kita pulang
untuk mencatat kemustahilan baru yang luruh bersama air hujan.”


(2006)

Di Pinggir Telaga (II)

kita menekuri telaga sepanjang siang
entah berapa semak membuat kita melompat

”daun-daun bambu tak mengabarkan datangnya
langit baru di taman ini,” bisikmu

benar, burung-burung camar masih berkepak
melintasi langit yang sama sepanjang siang

(2006)

Di Kotamu

hai, aku datang di kotamu
sihir waktu tak mengubah kampung itu
sudut-sudut gang, tumpukan batu-batu
juga rindu yang pernah kaupesankan untukku

tapi akulah pengembara tersesat
tanpa peta, mencarimu di lengang malam dan sejuta alamat
hingga seorang rahib mengabarkan engkau telah menjelma lautan

disini,
di pantai kesunyian, tempat kita menatap rembulan bulat
wangi sekarmayang rambutmu masih tercium lekat
riak ombak setia berkecipak, menghanyutkan cahaya
dan memantulkan wajah-wajah leluhurmu
ya, semua masih seperti dulu

maka sebelum gelap merampas senja,
biarkan kutulis sajak
kutitipkan kepada angin untukmu
juga pedih dari seribu badik
yang menancap kekal
tepat di jantungku
di jantungku ...


(losari petanghari, nopember 2006)

Negeri Sekarat

di negeri sekarat
waktu memadat
matahari pucat
tubuhku menguap
menjelma asap

aku lindap terhisap
hidung nini datu
dan para pendusta

; sirna



(banjarmasin, pagi terakhir, nopember 2006)

Nunca Mas




“The most important role player is the victim.”
-Nelson Mandela-

Dari ladang-ladang pembantaian, lihatlah tubuh kami menghitam
Bau anyir darah membuncah dari dedusun lusuh dan temaram

Waktu terpejam, menciut di depan altar pejagalan
Jerit kami menghumus, desah kami desah hantu hutan

Lalu siapa berbaris berderap-derap di bawah bulan seiris
Menghunus bayonet dan memotong jemari kanak dengan bengis?

Malam yang sekarat, maut merentangkan sayap
Aroma kematian bertugur disepasang tiang pancang

Tubuh kami terbanting, hati kami tercincang-cincang
Tuhan yang kami tunggu tak kunjung datang

Luka terlanjur menganga dari gairah genosida
Sejarah yang terukir di kulit pohon Ara, menyisakan airmata di pipi Maria

Kini,
Meski pedih perih kekal tak terperi
Engkau tak lagi menyumpal mulut-mulut kami

Malaikat yang mengirim kalian ke ujung sunyi
Telah memberikan sayapnya dan menyanyikan lagu surgawi

Bagai burung terbang bersarang
Kami ruh yang telah menemukan jalan pulang


Jakarta, 10 Desember 2006 pas hari HAM se-dunia.


(*) Nunca Mas = Never Again, adalah sebuah laporan setebal 50.000 halaman yang memuat daftar 8.960 orang hilang, dibuat oleh The Argentine National Commission on The Disappeared (CONADEP) selama pemerintah junta militer di Argentina dari 1976-1983. Nunca Mas menyeret sembilan anggota junta militer Argentina atas kejahatan kemanusiaan, salah satunya Jenderal Jorge Videla yang diganjar hukuman seumur hidup.